BeritaInternasionalNasionalPolitik

Konflik Israel-Iran dan Bayang-Bayang Intelijen AS di Balik Layar Oleh Alexander Manurung, Public Policy Enthusiast

Konflik geopolitik antara Israel dan Iran kembali mencuat ke permukaan, membentangkan kekhawatiran akan eskalasi militer yang lebih luas. Di tengah bayang-bayang rudal, sistem pertahanan udara, dan serangan siber, terselip satu entitas tak terlihat namun memainkan peran sangat vital: komunitas intelijen, khususnya milik Amerika Serikat. Konflik ini, sebagaimana saya lihat melalui pendekatan jurnalistik intelijen, bukan semata tentang pertempuran militer konvensional, melainkan juga perebutan narasi, data, dan dominasi politik di balik layar kekuasaan global.
Konflik Israel-Iran bukan hanya lahir dari antagonisme ideologis atau dendam sejarah. Ia adalah cerminan dari kompetisi regional yang lebih dalam, tentang siapa yang memegang kendali pengaruh di Timur Tengah. Iran dengan semangat revolusionernya mendukung milisi-milisi Syiah seperti Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman, sementara Israel mempertahankan superioritas militernya dan memperkuat aliansi strategis dengan Amerika Serikat. Di balik ini semua, aktor intelijen Amerika Serikat hadir sebagai arsitek dalam banyak dinamika yang terjadi, baik secara langsung maupun melalui perang proksi.
Melalui metodologi jurnalistik intelijen—yakni pendekatan yang menggabungkan investigasi terbuka, analisis sumber terbatas, dan pemetaan kekuatan tersembunyi—kita bisa melihat bahwa keterlibatan intelijen AS dalam konflik ini tidak bisa dianggap kecil. CIA, NSA, dan bahkan DIA (Defense Intelligence Agency) memiliki kepentingan mendalam dalam menjaga stabilitas regional demi kelangsungan hegemoni AS di Timur Tengah. Sinyal ini terlihat jelas dari bagaimana AS mampu membaca rencana serangan rudal Iran dalam hitungan jam dan memberikan peringatan dini kepada Israel. Ini bukan sekadar kerja diplomasi, ini kerja intelijen dengan presisi tinggi.
Ketika Iran meluncurkan serangan balasan terhadap Israel sebagai respon atas serangan terhadap konsulatnya di Damaskus, AS bergerak bukan hanya sebagai sekutu Israel, tetapi sebagai pengendali narasi global. Serangan balik itu berhasil ditekan, pertahanan udara Israel yang dibantu oleh sistem radar dan sinyal elektronik Amerika mampu menetralisir sebagian besar ancaman. Skenario ini tidak terjadi secara spontan. Dalam dunia intelijen, skenario seperti itu dibentuk melalui serangkaian contingency planning, early warning system, dan koordinasi antar agen yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Banyak yang mengatakan ini adalah permulaan dari Perang Dunia Ketiga. Namun sebagai pengamat kebijakan publik dan peminat studi intelijen, saya berpendapat sebaliknya. Perang dunia di masa kini tidak lagi lahir dari konsentrasi pasukan dalam jumlah besar atau invasi terbuka ala Perang Dunia II. Dunia pasca-Perang Dingin telah berubah. Perang besar digantikan dengan perang asimetris, operasi-operasi clandestine, dan manipulasi geopolitik oleh aktor negara dan non-negara melalui teknologi dan data. Maka, gagasan akan pecahnya perang dunia ketiga lebih bersifat simbolik ketimbang realitas strategis.
Alasan lain mengapa perang dunia ketiga tidak akan terjadi adalah karena komunitas intelijen global—terutama milik Amerika Serikat, Rusia, dan Cina—sebenarnya lebih menginginkan kontrol konflik ketimbang destruksi total. Mereka lebih memilih konflik terbatas dan berkepanjangan yang bisa dijadikan alat negosiasi politik dan keuntungan ekonomi (misalnya, penjualan senjata), ketimbang perang besar yang bisa menghancurkan tatanan global yang justru mereka kendalikan dari balik layar.
Dalam pendekatan intelijen strategis, kekuatan besar tidak pernah menginginkan kehancuran total. Mereka bermain dalam wilayah abu-abu: antara perang dan damai, antara diplomasi dan ancaman militer. Kecanggihan analitik sinyal (SIGINT), analisis citra satelit (IMINT), dan infiltrasi agen-agen lapangan telah membuat mereka mampu mengelola konflik agar tetap “panas-dingin” dan tidak melebar. Ketegangan tinggi antara Israel dan Iran selama dua dekade terakhir selalu dikendalikan agar tetap berada dalam ambang batas tertentu.
Israel sendiri sangat bergantung pada superioritas informasinya. Mossad, sebagai salah satu dinas intelijen paling berpengaruh di dunia, telah memainkan peran krusial dalam mengidentifikasi jaringan nuklir Iran, bahkan diduga kuat berada di balik sabotase beberapa fasilitas nuklir Iran. Namun, tanpa dukungan dari komunitas intelijen AS, Israel tidak akan mampu mempertahankan keunggulan ini secara berkelanjutan. Di sinilah letak sinergi antara kepentingan strategis dan dominasi intelijen.
Sebaliknya, Iran yang selama ini berada dalam posisi ofensif juga memperkuat sistem intelijennya melalui MOIS dan IRGC Intelligence Organization. Mereka bukan aktor lemah dalam permainan ini. Namun, mereka masih kalah dari sisi teknologi penginderaan dan kapasitas global. Maka, sering kali mereka harus mengandalkan serangan proksi sebagai cara menyamarkan jejak langsungnya.
Melihat dari semua ini, sangat jelas bahwa konflik Israel-Iran bukan hanya tentang dua negara, tetapi medan tempur intelijen global. Amerika Serikat hadir sebagai sutradara utama dalam peta konflik ini. Dari pengumpulan data elektronik, pengelolaan diplomasi tertutup, hingga penciptaan narasi publik melalui media internasional, intelijen AS telah mendikte jalannya permainan tanpa perlu mengangkat senjata secara langsung.
Jika kita hendak menyelamatkan dunia dari perang skala global, maka pemahaman atas logika intelijen ini menjadi penting. Dunia bukan sedang menuju kehancuran massal, melainkan sedang berada dalam kendali aktor-aktor intelijen yang lebih memilih stabilitas palsu daripada kekacauan nyata. Perang Dunia Ketiga, sebagaimana dibayangkan banyak orang, adalah ilusi dalam lanskap dunia yang telah diatur oleh tangan-tangan yang tak terlihat. Dunia hari ini adalah dunia para intelijen.
Dengan itu, sebagai penutup, saya mengajak publik untuk tidak hanya melihat konflik dari sudut pandang hitam-putih. Belajarlah memahami bagaimana informasi bekerja, bagaimana agen intelijen memproduksi keputusan di balik layar, dan bagaimana kekuasaan hari ini lebih banyak ditentukan oleh yang tidak terlihat ketimbang yang tampak. Inilah saatnya publik lebih cerdas, lebih waspada, dan tidak terbawa arus retorika konflik yang kerap disulut demi kepentingan tertentu. Sebab, seperti kata pepatah intelijen, “Yang terlihat seringkali bukanlah yang sebenarnya terjadi.”

Exit mobile version