Berita

Many People Think Iran Lost, Hamas Eliminates, Palestine Happy?

Di tengah ledakan opini global, muncul narasi populer: Iran kalah, Hamas tereliminasi, dan Palestina seolah-olah bahagia dengan porak-porandanya Gaza. Narasi ini berkembang di media sosial dan wacana publik internasional setelah serangkaian serangan Israel yang masif terhadap Gaza dan pembunuhan sejumlah pimpinan Hamas dalam operasi yang diklaim sebagai “presisi tinggi”. Namun, di balik kesimpulan publik yang cepat, situasi di Timur Tengah justru menyimpan kompleksitas yang jauh lebih dalam. Timur Tengah hari ini bukan hanya soal kalah dan menang, tetapi soal kekuasaan, pengaruh, dan narasi global yang diperebutkan.

Secara geopolitik, Iran tetap menjadi aktor utama yang tidak bisa diabaikan. Meski banyak pihak mengklaim bahwa Iran mengalami kekalahan strategis karena tidak mampu membendung kehancuran Hamas atau membalas dengan kekuatan penuh atas pembunuhan para jenderal Quds Force di Damaskus, kenyataannya Iran justru berhasil memperluas pengaruhnya melalui kelompok proksi di Lebanon, Irak, Yaman, dan Suriah. Ketika dunia melihat Iran diam, yang sebenarnya terjadi adalah langkah kalkulatif untuk mempertahankan stabilitas internal sambil menjaga eksistensi regional. Iran memahami bahwa respons langsung dapat memicu konflik besar yang justru merugikannya dalam jangka panjang.

Selain itu, konstelasi baru di kawasan seperti normalisasi hubungan Arab-Israel dalam skema Abraham Accords menjadi tantangan tersendiri. Namun, justru dari sana, Iran memainkan peran kontra-hegemoni terhadap poros Arab-Israel-Amerika. Iran tak berhenti membangun poros perlawanan (Axis of Resistance) sebagai alat tekanan terhadap poros barat. Narasi Iran kalah lebih banyak dibentuk oleh media-media Barat yang mengabaikan realitas diplomasi senyap yang dilakukan Teheran ke Moskow, Beijing, dan Ankara. Diplomasi tiga arah ini menjadi fondasi untuk menghadang hegemoni Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan.

Dari sisi intelijen, konflik Israel-Iran dan kejatuhan Hamas memperlihatkan satu hal penting: keberhasilan dan kegagalan aparat intelijen dalam mengatur ritme perang asimetris. Israel dengan Mossad-nya jelas memiliki keunggulan dalam infiltrasi informasi, terbukti dengan pembunuhan ilmuwan Iran dan tokoh senior Hamas yang dilakukan dengan akurat. Namun, dominasi ini bukan tanpa kebocoran. Serangan rudal Iran ke wilayah Israel dalam beberapa waktu lalu adalah bukti bahwa sistem pertahanan dan informasi Israel tidak selalu sempurna, karena sebagian rudal berhasil mencapai target, meski banyak yang dicegat oleh Iron Dome.

Di sisi lain, jaringan intelijen Iran melalui IRGC dan Unit Quds justru semakin terlatih dalam skenario perang proksi. Mereka tidak sekadar mengandalkan kekuatan tempur, tetapi membentuk sistem komunikasi bawah tanah yang memfasilitasi pengiriman logistik dan senjata ke Hamas dan Hizbullah tanpa terdeteksi penuh. Meski sebagian besar infrastruktur ini digempur oleh Israel, keberlanjutannya menunjukkan kapasitas adaptif yang tinggi. Hal ini juga menunjukkan bahwa eliminasi tokoh-tokoh Hamas tidak serta merta melumpuhkan sistem perlawanan mereka. Intelijen Iran bekerja dengan sistem terdesentralisasi yang meminimalisir kerugian saat satu sel hancur.

Sementara itu, Amerika Serikat menjadi aktor kunci yang tidak bisa diabaikan dalam perang intelijen ini. Keberadaan pasukan Amerika di Timur Tengah, termasuk radar dan fasilitas militer di Qatar, Bahrain, dan Kuwait, memberi keuntungan strategis. Namun, tekanan domestik terhadap Presiden AS yang dituduh terlalu pro-Israel menjadikan posisi intelijen AS dalam dilema: antara mendukung sekutu dan menghindari eskalasi yang bisa membakar seluruh kawasan. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, bocoran dokumen Pentagon menunjukkan ketidaksepahaman antara lembaga-lembaga intelijen AS soal ancaman Iran yang sebenarnya. Ini menciptakan celah yang dieksploitasi Iran dan sekutunya.

Dari aspek ekonomi global, konflik ini tidak hanya membakar Gaza, tetapi juga mengancam jalur suplai energi dunia. Selat Hormuz yang dikuasai Iran adalah urat nadi perdagangan minyak global. Setiap ketegangan militer atau retorika agresif dari Israel atau AS menyebabkan harga minyak melonjak. Ketika serangan balasan Iran terhadap Israel terjadi pada April 2025, harga minyak mentah Brent langsung melonjak hingga USD 95 per barel—tingkat tertinggi sejak awal 2023. Ketidakpastian inilah yang menjadi nilai tawar Iran, bahwa mereka masih bisa mengguncang pasar meski secara militer tampak terpojok.

Lebih jauh lagi, para investor global mulai menarik investasi dari kawasan Timur Tengah. Ketakutan terhadap konflik berlarut memengaruhi pasar saham, menyebabkan instabilitas mata uang regional, dan meningkatkan permintaan terhadap aset safe haven seperti emas dan dolar. Dalam satu minggu setelah konflik terbaru, dana senilai USD 2,3 miliar keluar dari pasar saham Tel Aviv. Ini bukan hanya pukulan bagi Israel, tapi juga bagi mitra-mitra dagangnya di Eropa dan Amerika. Ketergantungan global terhadap stabilitas kawasan membuat siapa pun yang dapat mengancamnya—termasuk Iran—masih memiliki kartu as dalam permainan ekonomi global.

China dan Rusia juga tidak tinggal diam. Mereka memanfaatkan ketegangan ini untuk memperkuat diplomasi energi mereka. Rusia meningkatkan ekspor minyak ke Asia, menggantikan ketergantungan negara-negara pada jalur Timur Tengah. Sementara China aktif menawarkan peran sebagai mediator damai, sekaligus memperkuat jalur perdagangan dalam skema Belt and Road Initiative (BRI). Meski terlihat netral, kedua negara ini diam-diam mendorong poros multipolar dunia yang dapat menyeimbangkan dominasi ekonomi AS dan aliansinya. Dalam konteks ini, ekonomi menjadi medan pertempuran baru pasca-bom dan roket.

Secara militer, memang tidak bisa disangkal bahwa Hamas mengalami kerugian besar. Ribuan pejuangnya gugur, markas-markas bawah tanah dihancurkan, dan kemampuan tempur langsung menurun drastis. Namun, seperti sejarah perlawanan di Lebanon dan Irak, kekuatan militer gerilya tidak diukur dari kemenangan konvensional, tetapi dari kemampuannya bertahan dan tetap menjadi ancaman. Fakta bahwa Hamas tetap bisa meluncurkan roket meski Gaza hancur adalah pesan kuat bahwa mereka belum benar-benar tereliminasi. Bahkan, pembentukan generasi pejuang baru dari reruntuhan Gaza menjadi bukti bahwa militer Israel gagal memadamkan perlawanan ideologis.

Militer Iran juga mengambil posisi tidak langsung, namun strategis. Serangan rudal balistik yang diluncurkan dari wilayah Iran ke arah Israel menunjukkan bahwa kekuatan militer Iran tidak bisa diremehkan. Meski sebagian besar dicegat oleh pertahanan Israel, kemampuan Iran meluncurkan ratusan rudal sekaligus dalam waktu singkat membuktikan kapabilitas militernya yang signifikan. Ditambah lagi, kehadiran pasukan Hizbullah di perbatasan utara Israel menjadi tekanan ganda yang membuat IDF harus membagi fokus. Iran membuktikan bahwa ia bisa membuat Israel kewalahan tanpa harus mengirim satu pun tentaranya langsung ke medan tempur.

Di sisi lain, aliansi militer Amerika-Israel justru menjadi bumerang di mata publik global. Bom-bom yang menghancurkan rumah sakit dan sekolah di Gaza memicu demonstrasi di Eropa, Amerika Latin, hingga Asia Tenggara. Ini memperlemah legitimasi moral yang selama ini dibanggakan Israel dan sekutunya. Di sinilah Hamas dan Iran memainkan narasi simbolik: bahwa mereka bukan hanya pejuang, tetapi simbol perlawanan terhadap penjajahan. Maka dari itu, meski dari segi militer terlihat kalah, mereka justru memenangkan pertarungan narasi di hati banyak warga dunia.

Akhirnya, opini publik bahwa “Iran kalah, Hamas habis, Palestina bahagia” tidak lebih dari reduksi simplistik atas konflik multidimensi yang melibatkan kekuatan global. Iran tidak kalah, ia hanya bergeser pada strategi panjang. Hamas belum habis, ia bertransformasi. Palestina tidak bahagia—mereka justru menderita—tetapi di tengah reruntuhan itu, mereka menemukan kembali alasan untuk terus bertahan. Dalam dunia yang dikuasai oleh propaganda dan narasi besar, kebenaran sejati terkadang tidak terdengar sekeras ledakan bom, tapi tetap hidup dalam ingatan dan perjuangan rakyat yang tertindas..

Sebagai penulis opini ini, saya menyampaikan bahwa tulisan ini merupakan refleksi dari dinamika geopolitik, intelijen, ekonomi global, dan kekuatan militer di Timur Tengah yang sangat kompleks dan tidak bisa disederhanakan oleh narasi-narasi populis seperti “Iran kalah, Hamas habis, Palestina bahagia.” Justru dalam kekacauan inilah kita harus lebih jernih melihat bagaimana kekuatan global saling bermain dan bagaimana penderitaan rakyat Palestina terus dieksploitasi dalam permainan besar kekuasaan dunia.

Saya tidak menulis untuk membela pihak mana pun secara buta, tetapi untuk mengungkap bahwa apa yang tampak di permukaan tidak selalu menggambarkan kenyataan utuh di lapangan. Iran bukan hanya negara, tapi representasi dari kepentingan geopolitik kontra-hegemoni. Hamas bukan hanya kelompok bersenjata, tapi ekspresi dari kekecewaan dan perlawanan. Dan Palestina, bukan panggung kemenangan atau kebahagiaan, tapi medan luka yang terus menganga akibat kegagalan sistem global dalam menjamin keadilan.

Saya berharap tulisan ini dapat menjadi bahan renungan bagi pembaca, agar tidak mudah terjebak dalam narasi-narasi besar yang dibentuk oleh kepentingan media, melainkan berani menelaah lebih dalam dan memahami konteks yang lebih luas, demi terciptanya empati dan keadilan yang sejati dalam isu-isu kemanusiaan global. Sebab, dalam peperangan narasi dan propaganda, kebenaran seringkali menjadi korban pertama.

 

Oleh Alexander Manurung
Public Policy Enthusiast

Exit mobile version