Pertanian organik telah menjadi topik utama dalam diskusi global tentang ketahanan pangan dan keberlanjutan kehidupan. Hal ini disebabkan oleh kesadaran yang semakin meningkat tentang dampak negatif pertanian konvensional, seperti degradasi tanah, pencemaran air, dan ketergantungan pada bahan kimia yang merugikan kesehatan manusia dan lingkungan.
Pertanian organik menawarkan pendekatan yang lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan teknik-teknik alami untuk meningkatkan kesuburan tanah, mengendalikan hama, dan menghasilkan pangan yang lebih sehat tanpa menggunakan pestisida dan pupuk kimia sintetis.
Selain itu, pertanian organik berkelanjutan juga berfokus pada pemeliharaan biodiversitas dan pengelolaan sumber daya alam secara efisien, yang pada gilirannya berkontribusi pada stabilitas ekosistem dan ketahanan pangan jangka panjang.
Dalam konteks ini, pertanian organik tidak hanya dilihat sebagai alternatif untuk mengurangi kerusakan ekologis, tetapi juga sebagai solusi untuk mencapai ketahanan pangan global yang berkelanjutan di masa depan.
Menurut Prof Ni Luh Kartini seorang Wakil Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Indonesia akan mencapai Lumbung Pangan Dunia pada tahun 2045 dengan;
- Mengembalikan kesehaan tanah yang tercemar logam berat dengan bioremidasi
- Meningkatkan kesuburan tanah yang marjinal dengan penggunaan pupuk organik, biocar, sistem penanaman dengan tumpeng sari dengan tanaman leguminosa, dll
- Pertanian Organik terpadu SaBiCalTaLa (Sapi, Biogas, Cacing Tanah, Ikan, Tanaman Organik, Lebah, dan Agrowisata)
- Meningkatan penggunaan sumber daya lokal dan kearifan lokal dalam sistem pertaniani organic
- Ada pendampingan teknologi ramah lingkungan secara terus menerus dari hulu sampai hilir
- Subsidi dilakukan dihilir sehingga 100% didapatkan oleh petani untuk meningkatkan semangat Anak-Anak Muda di bidang pertanian