BeritaEkonomiNasionalPapua Barat DayaSosial BudayaWisata

Isu Pertambangan Nikel di Raja Ampat: Antara Ekonomi, Ekologi, dan Kearifan Lokal

×

Isu Pertambangan Nikel di Raja Ampat: Antara Ekonomi, Ekologi, dan Kearifan Lokal

Sebarkan artikel ini
Raja Ampat Papua Barat Daya
Raja Ampat Papua Barat Daya

Raja Ampat merupakan salah satu kabupaten yang berada di Papua Barat Daya yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut sebagai rumah bagi sekitar 75% spesies karang global, ribuan jenis ikan, penyu, dan pari manta serta menjadi destinasi unggulan ekowisata laut yang diakui secara global. Pada tahun 2023, Raja Ampat ditetapkan sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark membuktikan keunggulan kawasan ini dari sisi ekologis dan budaya.

Namun, di tengah upaya konservasi yang terus digaungkan, muncul ancaman serius berupa ekspansi industri pertambangan nikel. Meningkatnya permintaan global terhadap nikel terutama sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik dan komponen teknologi hijau mendorong perusahaan tambang untuk mengeksplorasi wilayah-wilayah baru, termasuk pulau-pulau kecil di Raja Ampat. Sejumlah izin usaha pertambangan (IUP) sempat diterbitkan di kawasan yang secara ekologis rentan sehingga memicu kekhawatiran akan kerusakan lingkungan yang sulit dipulihkan.

Kehadiran industri pertambangan di Raja Ampat bukan hanya mengancam kelestarian ekosistem laut dan darat, tetapi juga menimbulkan dampak sosial terhadap masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari laut dan hutan. Penolakan dari masyarakat lokal, aktivis lingkungan, dan akademisi pun bermunculan menyoroti perlunya evaluasi mendalam atas kebijakan pertambangan di wilayah tersebut.

Meningkatnya permintaan global terhadap nikel yang dibutuhkan untuk baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat telah mendorong ekspansi tambang nikel di Indonesia, termasuk di pulau-pulau kecil seperti Pulau Gag, Kawe, dan Manuram. Pemerintah pusat bahkan telah mengeluarkan lebih dari 22.420 Ha Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah tersebut sejak tahun 2020.

Aktivitas eksploitasi secara besar-besaran yang terjadi di wilayah Raja Ampat berdampak terhadap kerusakan lingkungan seperti, deforestasi daratan dimana berdasarkan satelit dan tinjauan lapangan menunjukkan sekitar 500 Ha hutan hilang akibat aktivitas tambang yang berlangsung selama periode tahun 2020-2024. Sementara itu, sedimentasi dan pencemaran air juga tidak lepas dari efek yang ditimbulkan dimana lumpur dari tambang masuk ke pesisir hingga merusak terumbu karang dan mengurangi cahaya matahari laut. Selain itu, kerugian ekosistem laut menjadi permasalahan yang harus diselesaikan karena mengakibatkan ekosistem laut menjadi rapuh sehingga berisiko terjadinya migrasi hewan.

Masyarakat adat kelompok Kawei, Gerakan Solidaritas, LSM dan kelompok lainnya secara tegas menolak operasi tambang nikel di Raja Ampat serta pulau lainnya. Adanya proyek tambang tersebut dinilai sebagai bentuk perampasan tanah ulayat serta ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat adat. Sementara itu, Sebagian masyarakat juga khawatir dengan adanya aktivitas tambang tersebut akan menghancurkan mata pencaharian masyarakat lokal yang mayoritas bekerja sebagai nelayan maupun yang bekerja di sektor wisata. Selain itu, terdapat potensi ancaman yang lebih besar seperti terjadinya konflik sosial antara masyarakat yang pro maupun kontra terhadap aktivitas pertambangan yang dilakukan.

Adanya penolakan dari berbagai pihak tentang adanya aktivitas tambang nikel di Raja Ampat membuat Pemerintah Pusat mencabut izin dari empat perusahaan yang beroperasi seperti Nurham, Kawei Sejahtera, Anugerah Surya Pratama dan Mulia Raymond Perkasa hingga terjadinya aksi unjuk rasa di beberapa titik dalam rangka mendukung penolakan segala aktivitas tambang di Raja Ampat.

Sehingga perlu adanya campur tangan dari DPR serta Kementrian terkait untuk mendorong dalam mengaudit, evaluasi serta peninjauan ulang kebijakan izin sebagai upaya menjaga prioritas pariwisata dan konservasi.

Walaupun pertambang berpotensi menyediakan pekerjaan dan infrastruktur seperti sekolah dll, namun manfaat tersebut dinilai tidak sebanding dengan ancaman ekologi dan keberlanjutan masa depan masyarakat adat. Sehingga memicu perdebatan luas di kalangan masyarakat, aktivis, Hak Asasi Manusia (HAM) dan pemerhati pembangunan berkelanjutan terkait model eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di Papua khususnya Raja Ampat.

Isu pertambangan nikel di Raja Ampat memunculkan dilema antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Berikut beberapa rekomendasi utama yang kemungkinan bisa digunakan dalam menyelesaikan permasalah yang sedang terjadi di wilayah Raja Ampat :

  1. Penegakan hukum dan transparansi izin, agar kegiatan tambang tidak melanggar hukum konservasi dan prinsip hak masyarakat adat.
  2. Melakukan studi dampak lingkungan jangka panjang dan audit ekologi untuk memastikan mitigasi sedimentasi dan pemulihan habitat laut.
  3. Pemberdayaan masyarakat lokal, dimana perlu ada pengembangan alternatif ekonomi berbasis ekowisata sebagai substitusi terhadap pendapatan tambang.
  4. Pelarangan tambang di geopark dan pulau-pulau kecil, mengingat kerentanan ekologis sehingga opsi ini layak didorong melalui peraturan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *