Judi online yang semakin marak di kalangan remaja Indonesia telah menjadi perhatian serius. Debora Basaria, Psikolog Klinis dan Sekretaris Program Studi Jenjang Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, mengungkapkan berbagai pandangannya mengenai masalah ini.
Menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2023, penetrasi internet di Indonesia mencapai 78,9%, dengan penetrasi tertinggi pada kelompok remaja usia 13-18 tahun sebesar 98,20%. “Remaja Indonesia memiliki akses internet yang sangat tinggi, yang mempermudah mereka untuk terlibat dalam aktivitas judi online,” jelas Debora.
Remaja pada umumnya menunjukkan kecenderungan perilaku impulsif, sering bertindak tanpa perencanaan matang dan belum mampu memikirkan konsekuensinya. Hal ini disebabkan oleh perkembangan frontal cortex di otak mereka yang belum sepenuhnya matang, yang bertanggung jawab atas fungsi eksekutif seperti pengambilan keputusan dan pengendalian impuls. Akibatnya, remaja sering mencari pengalaman baru yang menarik, termasuk perjudian online.
Laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada tahun 2023 mencatat sekitar 151 juta transaksi judi online di Indonesia dengan nilai perputaran uang lebih dari 160 triliun rupiah. Meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menutup hampir satu juta konten dalam situs judi online, kenyataannya perilaku judi online masih marak. Remaja juga terlibat dalam promosi situs judi online melalui media sosial, menunjukkan bahwa judi online sudah tidak asing lagi bagi mereka.
Dampak dari perilaku judi online sangat merugikan, termasuk penurunan performa akademik, gangguan psikologis seperti stres, kecemasan, dan depresi, serta peningkatan perilaku kriminal seperti pencurian untuk mendapatkan uang judi. “Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang terlibat judi online mengorbankan banyak hal, termasuk uang kuliah dan barang berharga, dan mengalami penurunan performa akademik serta relasi sosial yang buruk,” tambah Debora.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku judi online pada remaja meliputi stres, kebutuhan akan hiburan, gaya hidup, dan sensasi kemenangan. Pola asuh yang tidak tepat, kurangnya kontrol orang tua, dan pengaruh teman sebaya juga menjadi faktor signifikan. Status sosial ekonomi dan kemudahan akses internet turut berkontribusi dalam meningkatkan risiko judi online.
Untuk mengatasi masalah ini, Debora menekankan pentingnya memperkuat ketahanan keluarga, meningkatkan literasi digital, mengkampanyekan bahaya judi online, dan memperbanyak hotline center untuk melaporkan indikasi judi online. Evaluasi berkala terhadap efektivitas langkah-langkah yang telah diambil juga perlu dilakukan. “Pendekatan yang terintegrasi dari seluruh pihak sangat diperlukan untuk melindungi generasi muda Indonesia dari bahaya judi online,” tegasnya.
Debora juga menekankan pentingnya upaya kolaboratif dan partisipasi aktif dari semua pihak, termasuk keluarga, pendidik, dan pemerintah, dalam menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi remaja Indonesia. “Hanya dengan kerja sama yang erat dan tindakan preventif yang tepat, kita dapat melindungi masa depan generasi muda dari dampak negatif judi online,” pungkasnya.
Melalui upaya bersama, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami bahaya judi online dan mengambil langkah-langkah preventif untuk melindungi remaja Indonesia dari ancaman ini.