Berita

WALHI Kalteng dan AMAN Kalteng Tegas Menyoroti Kegagalan Program Food Estate: “Masyarakat Adat Jadi Korban, Bukan Penerima Manfaat”

×

WALHI Kalteng dan AMAN Kalteng Tegas Menyoroti Kegagalan Program Food Estate: “Masyarakat Adat Jadi Korban, Bukan Penerima Manfaat”

Sebarkan artikel ini

PULIHKAN KALIMANTAN TENGAH

Kalimantan Tengah, 13 Agustus 2025 – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah melayangkan kritik tajam terhadap program food estate di wilayah mereka, yang dinilai gagal secara teknis, mengabaikan hak-hak masyarakat adat, dan memicu kerusakan sosial-ekologi skala besar.

Dalam pernyataan bersama yang disampaikan oleh Ani dan Igo (WALHI Kalteng) serta Yoga Adi Saputra, Kesiadi, dan Paulus Danar (AMAN Kalteng), mereka menegaskan bahwa proyek yang digadang sebagai solusi ketahanan pangan nasional ini justru menimbulkan luka ekologis, konflik horizontal, hingga ancaman terhadap eksistensi masyarakat adat.

Ani (WALHI Kalteng): “Proyek ini dirancang tanpa memahami konteks lokal”

Menurut Ani, sejak awal perencanaan, program food estate berjalan tanpa melibatkan masyarakat dan tanpa memperhitungkan kondisi ekologi setempat. Alih-alih meningkatkan produktivitas, pembukaan lahan masif di wilayah gambut dan hutan alam—termasuk di Kabupaten Gunung Mas—justru mengulang kegagalan proyek PLG era Orde Baru.

“Bibit dan alat tidak sesuai dengan kondisi tanah, irigasi gagal berfungsi, bahkan sebagian bibit yang diberikan sudah kadaluarsa. Tanah gambut rusak karena digali terlalu dalam, memicu banjir dan kebakaran. Ironisnya, hasil dari padi lokal masyarakat justru diklaim sebagai keberhasilan pemerintah,” tegasnya.

Igo (WALHI Kalteng): “Ini ketahanan proyek, bukan ketahanan pangan”

Igo menilai kegagalan food estate terjadi sejak tahap perencanaan. Program ini, katanya, lahir bukan dari kebutuhan pangan masyarakat, melainkan ambisi proyek nasional tanpa riset sosial-ekonomi yang memadai.

“Tiap tahun lahan baru dibuka tanpa evaluasi hasil sebelumnya. Irigasi dijanjikan, tapi yang terjadi justru lahan tergenang. Audit dana besar yang digelontorkan harus dilakukan, agar jelas apakah sampai ke petani atau berhenti di meja birokrat,” ujarnya.

Yoga Adi Saputra (AMAN Kalteng): “Masyarakat adat jadi tamu di rumah sendiri”

Dari sisi masyarakat adat, Yoga memaparkan bahwa lahan yang disebut “kosong” oleh pemerintah sebenarnya adalah hutan adat yang menjadi sumber pangan, obat-obatan, hingga tempat keramat.

“Pemerintah datang membawa alat berat dan peta, lalu menyatakan lahan itu bagian proyek nasional. Tidak ada musyawarah adat, tidak ada pemberitahuan. Hasil proyek pun tidak kembali ke masyarakat adat,” jelas Yoga.

Kesiadi (AMAN Kalteng): “Kolonialisme gaya baru”

Kesiadi mengkritik pola transmigrasi dan food estate yang meminggirkan struktur sosial masyarakat adat. Ia menilai pemerintah menggunakan transmigrasi sebagai pintu masuk bagi modal besar, dengan mengorbankan transmigran dan masyarakat adat sekaligus.

“Dua kelompok rakyat kecil dipertentangkan, sementara perusahaan besar diuntungkan. Ini pola lama, hanya berganti wajah,” ujarnya.

Paulus Danar (AMAN Kalteng): “Pengakuan wilayah adat harus jadi syarat utama”

Paulus menegaskan bahwa AMAN menolak proyek besar yang tidak diawali dengan pengakuan resmi wilayah adat. Pemetaan partisipatif sudah dilakukan di banyak kampung, namun selalu terhambat oleh status kawasan hutan.

“Negara hanya mengakui yang bisa dimasukkan ke form, bukan yang hidup di keseharian rakyat. Jika hak masyarakat adat diabaikan, konflik akan meluas dan mengarah pada etnosida,” tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *