Nasional

Pendidikan Merana, Bonus Demografi Hanya Wacana

×

Pendidikan Merana, Bonus Demografi Hanya Wacana

Sebarkan artikel ini

ditulis oleh Ridhoan P Hutasuhut (Presiden BEM KBM Universitas Bengkulu)

Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional

 

KabarCakrawala.com – Bengkulu, Pendidikan merupakan aspek fundamental dalam pembangunan negara, dan di Indonesia, pembangunan pendidikan telah menjadi fokus utama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kesempatan yang adil bagi seluruh masyarakat. Namun, sistem pendidikan Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan kompleks, yang membutuhkan pemahaman mendalam dan kebijakan yang tepat untuk mengatasinya. Permasalahan pendidikan yang dialami negara Indonesia sangatlah kompleks, meskipun pada perjalanannya sudah berganti-ganti pemerintahan. Hingga sekarang pemerintahan Jokowi memiliki persoalan pendidikan di Indonesia masih belum tertangani secara signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dari akses pendidikan di daerah terpencil yang masih tertinggal, adanya kesenjangan pendidikan yang besar antara daerah kaya dan daerah miskin, antara sekolah negeri dan sekolah swasta, dan antara kelompok masyarakat kaya dan masyarakat miskin. Ditambah permasalahan guru, kurikulum dan kebijakan pendidikan yang hingga saat ini belum terselesaikan. Dalam konteks global, wacana neoliberalisme telah menjadi fenomena yang signifikan, tidak terkecuali dalam sektor pendidikan. Prinsip-prinsip neoliberalisme,seperti privatisasi, komersialisasi, dan penekanan pada persaingan pasar, telah memberikan dampak yang signifikan terhadap akses dan partisipasi pendidikan. Implikasinya terhadap kesejahteraan guru dan dosen, serta tata kelola pendidikan, menjadi sorotan penting dalam merumuskan kebijakan yang inklusif dan berkeadilan. Selain itu, inklusi sosial menjadi aspek yang tak terpisahkan dalam perjuangan untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi semua warga negara, tanpa terkecuali. Tantangan-tantangan seperti ketimpangan ekonomi, akses terbatas, serta diskriminasi harus diatasi agar setiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Dalam konteks ini saya melihat berbagai macam aspek yang perlu diperbaiki.

A.Sistem Indonesia

Menurut data statistik, skor survei Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia berada pada urutan ke-68 yang artinya kita berada di urutan ke-10 dari bawah dalam hal membaca dan berhitung. Rendahnya skor PISA Indonesia bisa disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya :

1. Kurikulum Pendidikan

Kurikulum Pendidikan Indonesia telah mengalami perubahan setidaknya 11 kali sejak tahun 1947, perubahan kurikulum mungkin memiliki kelebihan serta kelemahannya masing-masing, namun dengan sering berubah nya system Pendidikan juga dapat menyebabkan kurangnya konsistensi dan ketangguhan sistem Pendidikan Indonesia.

2. Implementasi Higher Order Thinking Skills (HOTS)

Penggunaan soal HOTS di Indonesia hanya pada saat Ujian, di negara-negara pendiri OECD atau Organisation for Economic Cooperation and Development sudah menerapkan kurikulum tinggi HOTS, sehingga bisa dikatakan kurikulum yang ditetapkan di Indonesia masih jauh tertinggal meski dengan 11 kali perubahan.

3. Pandemi

Ketika dunia menghadapi pandemi Covid-19, Indonesia sebagai salah negara yang terdampak pada akhirnya mengeluarkan kebijakan melakukan kegiatan pembelajaran dalam jaringan. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab kualitas Pendidikan Indonesia menurun akibat pembelajaran yang dilakukan tidak lagi bertatap muka di kelas sehingga peserta didik perlu adanya penyesuaian.

4. Kualitas Pendidikan

Dan balik lagi, kualitas Pendidikan di Indonesia masih rendah yang dapat dilihat dari skor PISA, terutama dalam matematika, literasi, dan sains.

5. Faktor lain

Ketika kita melihat sarana dan prasarana Pendidikan di Indonesia mungkin bisa dikatakan belum meratanya kualitas sarpras Pendidikan yang ada di sekolah, sehingga untuk menunjang pembelajaran dirasa masih kurang.

B. Kesejahteraan tenaga pendidik

Salah satu masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dalam system Pendidikan adalah rendahnya kesejahteraan yang didapatkan para tenaga pendidik. Janji manis yang menjadi visi dan misi calon pemimpin negeri ini bergema setiap adanya pemilihan umum hingga pemilihan kepala daerah. Namun, hingga kini, belum sepenuhnya terwujud. Para guru dan dosen yang terus menjadi “pahlawan tanpa jasa” yang harus siap mengabdi dengan hati ikhlas meski gaji yang tak sesuai dengan kebutuhan hidup. Dalam upaya meningkatkan mutu guru yang profesional harus direncanakan dalam rangka memenuhi kualifikasi akademiknya. Namun, berdasarkan fakta yang ada, dapat dilihat bahwa guru dan dosen di Indonesia belum sepenuhnya berada di kondisi atau diposisi Sejahtera, hal ini berpotensi berdampak pada banyak hal salah satunya pada kemampuan siswa, Dimanakemampuan guru yang baik akan meningkatkan hasil belajar siswa.

Akan tetapi, bagaimana guru bisa memiliki kemampuan yang baik sedangkan kesejahteraan itu sendiri belum mereka dapatkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini mengatur bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Prinsip tersebut antara lain memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Hak akan kesejahteraan ini dimuat dalam Pasal 14 ayat (1) bagian a Undang-Undang (UU) Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyebut bahwa “Guru dan dosen berhak untuk memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial”. Hak akan kesejahteraan ini dimuat dalam Pasal 14 ayat (1) bagian a Undang-Undang (UU) Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyebut bahwa “Guru dan dosen berhak untuk memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial”.

Setiap yang memperoleh tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan tersebut yang bersangkutan harus melaksanakan tugasnya sebagaimana yang sudah terancang. Antara lainnya adalah memenuhi persyaratan akademik, dan memiliki satu atau lebih sertifikat pendidik yang telah diberi satu nomor registrasi unik oleh departemen, yang artinya sudah diakui resmi oleh laman tersebut. Namun, masih terdapat sekitar 1,6 juta guru yang belum sertifikasi, sehingga belum menerima tunjangan profesi. mekanisme pemberian tunjangan setelah sertifikasi seperti diatur UU Guru dan Dosen sulit diimplementasikan karena kapasitas PPG yang terbatas. Menurut Nadiem Makarim rata-rata, pemerintah menerima guru yang mengikuti program PPG sebanyak 60 hingga 70 ribu per tahun. Itu pun dibagi dua. Untuk guru-guru baru, yang menggantikan guru-guru pensiun, dan untuk guru-guru (dalam jabatan) yang sudah mengantri lama untuk sertifikasi melalui PPG. Tidak elok jika membiarkan pendidik Indonesia bergaji rendah dan kesejahteraan terbelakang di tengah upaya membangun sumber daya manusia untuk mendukung terwujudnya Indonesia Emas 2045 dengan memanfaatkan bonus demografi.

C. Neoliberalisme Pendidikan

Neoliberalisme pendidikan adalah konsep yang mengubah pendidikan menjadi sebuah industri yang berfokus pada produktivitas dan efisiensi, serta mengubah sifatnya menjadi sebuah institusi yang menciptakan keuntungan. Ideologi neoliberalisme dalam pendidikan mengandalkan fundamentalisme pasar, kebebasan individu, dan standar hidup global. Neoliberalisme telah menimbulkan banyak dampak, terutama bagi identitas akademik, pekerjaan akademik, dan produksi pengetahuan. Pendidikan tinggi di Indonesia telah terpengaruh oleh kekuatan pasar dan negara, yang mengakibatkan system pendidikan yang lebih komersial dan birokratis.

Neoliberalisme pendidikan tinggi di Indonesia mulanya didasari oleh keinginan pemerintah untuk menghasilkan tenaga profesional dan menciptakan pendidikan tinggi yang tujuannya berorientasi pasar. Sistem pendidikan direstrukturisasi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan elite politik dan bisnis yang merupakan penerima manfaat dari kerangka pendidikan berorientasi pasar tersebut. Prinsip tersebut mengakibatkan komodifikasi pendidikan, dimana pendidikan dianggap sebagai barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Hal ini mengakibatkan degradasi pada kualitas pendidikan karena pendidikan dikomersialisasikan, institusi pendidikan lebih mengedepankan keuntungan finansial daripada pada mutu pendidikan itu sendiri. Kebijakan-kebijakan neoliberal seperti standarisasi, kompetitivitas, dan orientasi pasar telah menjadi dasar kebijakan, kurikulum, dan praktik pendidikan tinggi di Indonesia.

Dampak lain dari neoliberalisme pendidikan tinggi di Indonesia adalah menghasilkan pendidikan berkualitas rendah yang sebetulnya jauh dari ambisi negara untuk memiliki sistem “berdaya saing internasional”. Pendidikan telah menjadi bisnis dengan kualitas rendah namun bervolume besar yang kurang tertarik untuk melakukan pengembangan diri. Alih-alih menghasilkan individu yang “cerdas dan berdaya saing”, kepentingan yang ada adalah untuk membantu birokrasi dan korporasi mengumpulkan sumber daya, memobilisasi dukungan politik, dan menjalankan kendali politik. Bagi perguruan tinggi pengamal prinsip neoliberalisme, relasi antar aktor sangat hierarkis sehingga menjadi lebih birokratis. Sistem yang demikian tersebut melahirkan terciptanya tenaga kerja yang mudah diganti dan lebih peduli pada kelangsungan hidup mereka sendiri, juga telah membantu mengarahkan kelompok dan individu untuk tunduk pada negara otoriter, termasuk institusi pendidikan dan para akademisi. Neoliberalisme Pendidikan juga mengubah pendidikan menjadi sebuah ‘pabrik’ yang harus memproduksi lulusan sebagai bagian dari mesin produksi, sehingga materi menjadi ukuran dominan. Hal tersebut juga membawa pada realitas bahwa pendidikan menjadi lebih komersialisasi, di mana institusi pendidikan lebih mengutamakan keuntungan finansial daripada kepentingan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga dapat menyebabkan ketidaksetaraan akses: pendidikan hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu membayar, sehingga meningkatkan kesenjangan sosial dan ekonomi dalam akses pendidikan.

D. Partisipasi Pendidikan

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan penduduk miskin yaitu pendidikan, hal tersebut menjadi tolak ukur kualitas sumber daya manusia pada suatu wilayah. Kontribusi masyarakat dalam pendidikan pada suatu wilayah berpengaruh terhadap partisipasi pendidikan. Jumlah penduduk usia sekolah yang bersekolah mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi Pendidikan pada suatu wilayah tersebut. Partisipasi pendidikan diukur dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Partisipasi pendidikan yaitu kontribusi serta keikutsertaan penduduk usia sekolah dalam pendidikan, hal tersebut dipengaruhi oleh bagaimana persepsi orang tua terhadap nilai anak di dalam keluarga. Oleh karena itu, masyarakat merupakan komponen strategis yang harus mendapat perhatian penuh oleh pendidikan.

Pendidikan merupakan titik sentral bagi pembangunan manusia. Berbagai indikator di tingkat internasional menempatkan pendidikan sebagai salah satu kunci utama keberhasilan pembangunan. Sejak tahun 1994, pemerintah Indonesia telah menetapkan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dengan target partisipasi sekolah untuk SMP/MTs mencapai 90%, paling lambat pada tahun 2008. Tahun 2000, pemerintah Indonesia menandatangani MDGs, berkomitmen untuk menyediakan pendidikan dasar untuk semua dengan target menjamin bahwa sampai dengan tahun 2015, semua anak, di manapun, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar. Pada tahun 2005, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional menargetkan bahwa pada tahun 2009, APM SD/MI mencapai 94% dan 75,5% untuk SMP/MTs. Pada kenyataannya, pencapaian pembangunan pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Kesenjangan antara target partisipasi sekolah yang dibuat pemerintah dan MDGs dengan pencapaian realistiknya masih besar. Selain itu, persoalan kesenjangan pencapaian pendidikan juga terjadi antar daerah perdesaan dan perkotaan serta antara penduduk kaya dan penduduk miskin.

E. Kartu Indonesia Pintar

Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah adalah suatu program pemerintah berupa bantuan dana yang diberikan kepada calon mahasiswa berasal dari keluarga yang tidak mampu dari segi ekonomi. Program tersebut tentunya dilandasi oleh beberapa regulasi yang berlaku. Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pemerintah Indonesia berkewajiban meningkatkan akses dan kesempatan belajar di Perguruan Tinggi. Berdasarkan UU No 12/201 tentang Pendidikan Tinggi, sudah sepantasnya Indonesia memperbarui aksesdan kesempatan belajar di Perguruan Tinggi serta menyiapkan SDM yang cerdas dan kompetitif. Namun dalam pemberian bantuan KIP Kuliah mengalami ketidakmerataan dan kurang tepat sasaran. Sasaran dari program ini yaitu calon mahasiswa yang berasal dari keluarga yang kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan pendidikan. Tetapi terjadi suatu ketimpangan karena tidak jarang mereka yang memiliki ekonomi yang cukup bahkan menengah ke atas tetap mendaftar sebagai penerima KIP Kuliah. Hal ini mengakibatkan adanya penyaluran bantuan kepada calon mahasiswa ekonomi rendah yang seharusnya mendapatkan bantuan justru tidak menerima.

Berdasarkan informasi BPK mencatat, dana bantuan sebesar Rp2,86 triliun diberikan kepada mahasiswa yang tidak layak menerima bantuan. Bahkan ada sebanyak 2.455.174 anak dari keluarga PKH atau KKS kehilangan kesempatan untuk menerima bantuan pendidikan dari pemerintah karena adanya tidak tepat sasaran bantuan yang diberikan. Pada tahun 2023, sebanyak 44.928 calon mahasiswa pendaftar Kartu Indonesia Pintar atau KIP Kuliah dinyatakan lolos Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) 2023 dari total pendaftar KIP Kuliah tahun 2023 jalur SNBP sebanyak 191.827 orang. Tidak hanya dari jalur SNBP saja, dari jalur UTBK juga banyak mahasiswa yang ikut mendaftar untuk bisa menerima bantuan KIP-K ini.

Permasalahan pada KIP-K ini bukan hanya sekedar tidak tepat sasaran namun juga terkait dengan mekanisme pengelolaan di seluruh perguruan tinggi yang tak transparan. Hal ini bisa dilihat dari awal pendistribusian kuota, verifikasi data, hingga berujung kepada pengaduan penerima yang tak tepat sasaran. Dalam persoalan pembagian kuota KIP-K masih menjadi satu teka-teki yang sulit dipecahkan yang mengganjal. Penetapan kuota ini banyak yang beranggapan tidak fair terkait dengan bahan pertimbangannya. Beberapa tahun kebelakang, berhasil dipantau jika perguruan tinggi yang memiliki permasalahan terkait dengan adanya suatu kebocoran kuota karena masih diperbolehkannya menggunakan surat keterangan tidak mampu yang rawan disalahgunakan.Penyalahgunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) ini sangat rawan karena dapat dibuktikan secara langsung. Di jaman sekarang ini dapat dibuktikan bahwa keluarga yang ekonominya menengah ke atas bisa membuat surat ini asalkan bisa membujuk perangkat desa terkait untuk membuat Namanya tercantum menjadi keluarga tidak mampu. Adanya penyalahgunaan surat keterangan tidak mampu (SKTM) ini menyebabkan proses seleksi data calon penerima bantuan ini kurang maksimal. Meskipun proses seleksi sudah berbasis pada sistem, tetapi data-data yang diinput oleh calon peserta dapat dimanipulasi atau peserta menggunakan data yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Seperti penghasilan orangtua, dapat dengan mudah direkayasa oleh sebagian calon peserta dengan membuat data palsu seolah-olah kondisi ekonomi calon peserta tersebut kurang memadai. Bisa juga dengan membuat dokumen pendukung seperti DTKS/P3KE yang dibuatdi kantor desa dengan bantuan orang dalam. Oleh karena itu, proses seleksi KIP Kuliah bisa dinilai kurang optimal karena masih terdapat target penerima yang salah sasaran. KIP-K sebagai solusi bantuan dana pendidikan kepada anak memiliki ekonomi tidak mampu atau miskin tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Hal ini karena penerima biaya pendidikan saat ini menggunakan bantuan yang ada untuk kebutuhan pribadi bukan fokus utamanya untuk pendidikan. Adanya penyalahgunaan dana juga bisa ditemukan dan dibuktikan dengan sifat hedonism para mahasiswa yang menerima KIP-K yang ternyata ekonomi mereka menengah keatas. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan awal dilaksanakannya program tersebut, karena pada hakikatnya program ini diperuntukkan bagi mahasiswa dengan kendala ekonomi dalam melanjutkan pendidikannya. Sehingga mereka sudah pasti mengalokasikan dana pendidikannya sebaik mungkin. Jika hanya untuk menunjang gaya hidup semata efektivitas KIP-K tidak akan sesuai dengan tujuan dari penyelenggaraan di bidang pendidikan. Pemerintah dalam mengawal permasalahan KIP-K ini seharusnya lebih menekankan lagi terkait kuota penerima, syarat yang lebih konkrit dan juga terkait dengan verifikasi data yang harus lebih lengkap agar lebih tepat sasarannya.

 

dilaporkan oleh Ridhoan P Hutasuhut (Presiden BEM KBM Universitas Bengkulu)

disunting oleh Tim Editor KabarCakrawala.com

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *