Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) 2025 tampaknya masih jauh dari harapan publik akan sistem peradilan pidana yang adil, transparan, dan akuntabel. Alih-alih membawa semangat pembaruan, RUU ini justru membuka celah besar terhadap dominasi penyidik, terutama dari kepolisian, tanpa diimbangi dengan sistem pengawasan yang kuat dan independen. Poros utama permasalahan RUU ini tidak hanya soal kelemahan normatif, tetapi juga pada bagaimana penyidik kepolisian diberi ruang yang begitu luas dalam penentuan nasib hukum seseorang, tanpa keharusan mempertanggungjawabkan tindakannya secara publik dan yudisial.
Sebagai penulis, saya memandang bahwa akar krisis keadilan dalam sistem peradilan pidana kita terletak pada kegagalan negara membatasi kekuasaan aktor-aktor penegak hukum. Dalam RUU KUHAP yang baru, penyidik kepolisian tetap menjadi poros dominan dalam menentukan arah sebuah perkara, mulai dari menerima laporan, melakukan penyidikan, hingga menetapkan tersangka. Namun, anehnya, ketika penyidik tidak menindaklanjuti laporan masyarakat, yang tersedia hanyalah mekanisme pengaduan internal kepada atasan mereka sendiri. Bagi saya, ini adalah bentuk impunitas struktural yang secara sadar dilegalkan oleh negara.
Lebih lanjut, tidak adanya kewajiban bagi penyidik untuk mendapat izin pengadilan dalam melakukan penangkapan (kecuali tertangkap tangan) menjadi indikator betapa kekuasaan aparat dijalankan tanpa kontrol. Apakah ini bentuk penghormatan terhadap asas praduga tak bersalah? Saya rasa tidak. Yang terjadi justru pengabaian terhadap prinsip due process of law. Penyidik diberi wewenang besar untuk membatasi kebebasan seseorang tanpa kontrol yudisial yang independen, sesuatu yang sangat rawan disalahgunakan, terutama dalam konteks penyidikan perkara yang berbau politis atau menyasar kelompok rentan.
Di sisi lain, pembatasan ruang gerak advokat yang dilarang memberi pendapat hukum di luar pengadilan terhadap kasus kliennya, bagi saya, adalah sebuah serangan terhadap prinsip kebebasan profesi. Dalam sistem demokrasi, advokat adalah salah satu tiang keadilan yang memiliki hak untuk bersuara, termasuk mengkritisi tindakan aparat yang menyimpang. Pelarangan itu hanya akan memperkuat dominasi penyidik dan menutup peluang koreksi publik atas praktik hukum yang tidak adil.
Saya juga menyoroti lemahnya pengaturan mengenai teknik investigasi khusus seperti penyadapan dan penggeledahan. Tanpa parameter objektif yang mengikat, teknik ini berpotensi dijadikan alat intimidasi oleh penyidik. Saya menilai bahwa investigasi bukanlah ruang gelap yang tak boleh disentuh hukum. Harus ada regulasi ketat agar teknik tersebut tidak menyimpang dari tujuan awalnya: membongkar kejahatan tanpa melanggar hak konstitusional warga negara.
Masalah lain yang tidak kalah penting adalah tentang sistem pembuktian dan pengelolaan barang bukti. Ketiadaan prosedur teknis yang baku membuat integritas pembuktian menjadi rapuh. Sebagai penulis, saya percaya bahwa kebenaran dalam hukum tidak hanya dibangun dari fakta, tetapi juga dari tata cara yang sah dan transparan. Tanpa itu, hasil pengadilan akan terus diragukan.
RUU KUHAP ini juga abai terhadap pengembangan sistem peradilan berbasis teknologi. Ketiadaan aturan mengenai sidang elektronik mencerminkan kurangnya keberpihakan negara terhadap akses keadilan di era digital. Dalam pandangan saya, digitalisasi hukum adalah keniscayaan. Negara tidak boleh tertinggal dan membiarkan kesenjangan teknologi menjadi hambatan baru dalam memperoleh keadilan.
Penerapan konsep restorative justice juga masih bermasalah. Ketika pendekatan ini dimaknai semata sebagai upaya penghentian perkara oleh penyidik tanpa proses keadilan substantif, maka nilai rekonsiliasi dan pemulihan yang seharusnya menjadi roh dari restorative justice justru hilang. Dalam praktik ideal, penyidik seharusnya hanya menjadi fasilitator, bukan aktor penentu dalam penyelesaian konflik hukum berbasis keadilan restoratif.
Yang membuat saya miris adalah bagaimana hak-hak korban tetap terpinggirkan. Kendati disebutkan adanya dana abadi untuk ganti kerugian, ternyata dana tersebut tidak mencakup restitusi bagi korban kejahatan. Ini menunjukkan bahwa negara masih melihat korban sebagai pelengkap narasi hukum semata, bukan subjek yang harus dipulihkan secara utuh. Restitusi bukan hanya soal uang, tapi juga pengakuan atas penderitaan korban dan tanggung jawab negara dalam memulihkan haknya.
Sebagai seorang pemerhati kebijakan publik, saya menyimpulkan bahwa RUU KUHAP 2025 ini belum berpihak pada keadilan substantif. Ketika penyidik kepolisian tetap diposisikan sebagai pusat kekuasaan dalam sistem peradilan tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, maka kita sedang membiarkan hukum berpijak pada kekuasaan, bukan keadilan. Saya menyerukan agar pembahasan RUU ini dibuka secara partisipatif, melibatkan publik secara luas, dan mengedepankan prinsip transparansi.
Kita tidak bisa terus-menerus menambal sistem hukum dengan kebijakan yang memperkuat dominasi aparat. Reformasi hukum pidana harus dimulai dengan mendemokratisasi kewenangan penyidik, menempatkan pengadilan sebagai pengontrol utama tindakan aparat, dan memberi ruang kepada korban serta pembela hukum untuk menyuarakan kebenaran. Jika tidak, maka sistem peradilan kita hanya akan menjadi panggung formalitas yang kehilangan makna keadilan.
Alexander Manurung
Public Policy Enthusiast/Koordinator Daerah BEM SI Kerakyatan Kepulauan Riau