Gorontalo – Sejak Januari 2023, kasus bunuh diri di Provinsi Gorontalo tercatat mencapai 25 orang. Fenomena tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai alasan, diantaranya faktor ekonomi, asmara, ataupun masalah keluarga. Mengutip laman Kemenkes RI (6/9/2022), sebanyak 55% orang depresi berfikir untuk bunuh diri. Perilaku bunuh diri (ide bunuh diri, rencana bunuh diri, dan tindakan bunuh diri) dikaitkan dengan berbagai gangguan jiwa, misalnya gangguan depresi.
Dr. Funco Tanipu., ST., M.A, Direktur Pusat Inovasi Universitas Negeri Gorontalo mengatakan bahwa larangan mempublikasikan foto dan video pelaku bunuh diri dapat meminimalisir upaya bunuh diri, karena ada peran media massa dan media sosial yang memicu berkembangnya kasus bunuh diri, namun hal itu hanya sekedar pemicu. Setiap pelaku bunuh diri telah memiliki riwayat “Penyerta”. Dalam hal ini, “Penyerta” yang dimaksud bisa saja pengaruh pendidikan, ekonomi dan sosial-budaya, hingga kemudian terinspirasi untuk “mencukupkan” usia. Ada beberapa yang mengatakan melalui flyer bahwa “bunuh diri bukan solusi”, namun bagi pelaku “bunuh diri adalah solusi”, sebab pada kondisi yang telah dijalani oleh pelaku, sudah tidak ada lagi solusi atas masalah dan penderitaannya. Apalagi dalam lingkungan yang dimana dia terisolasi, hidup sendiri dalam keramaian.
Selanjutnya dijelaskan bahwa angka pertumbuhan kasus bunuh diri berjalan cepat karena sejumlah hal, diantaranya bahwa yang telah memiliki gejala atau “niat” itu sudah banyak di Gorontalo. Data dari studi yang dilakukan oleh Emotional Health for All Foundation (EHFA), Kementerian Kesehatan dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa Gorontalo adalah Povinsi dengan tingkat percobaan bunuh diri kedua tertinggi di Indonesia setelah Sulawesi Barat.
Pada tahun 2022, dalam data mengenai indeks kebahagiaan yang dirilis oleh BPS, Gorontalo berada pada peringkat 7 pada provinsi di indeks kebahagiaan tertinggi. Data tersebut menyebutkan bahwa Gorontalo memiliki kekerabatan yang kuat, yang menjadi pondasi dari sebuah kebahagiaan. Tetapi kalau kita melihat data kasus bunuh diri, bisa disimpulkan bahwa kekerabatan atau Ngala’a di Gorontalo sedang tidak baik-baik saja. Dalam struktur Ngala’a, mestinya setiap anggota saling kenal, saling paham dan mengerti. Kondisi Ngala’a Gorontalo yang cenderung sedang tidak baik ini, terjadi karena faktor interaksi yang menurun antar anggota dalam satu grup, aktor atau sesepuh pada masing-masing grup tidak lagi dapat mengontrol atau memonitor sepenuhnya kondisi setiap anggota. Dari data BPS tersebut, perlu riset sosio-antropologis lebih lanjut mengenai kebahagiaan.
Maraknya kasus bunuh diri di Gorontalo harus dilihat dari banyak sisi, misalnya sisi sosio-antropologis yang masih memerlukan banyak pendalaman. Selain itu, kajian terkait kebijakan, politik, narasi agama, ekonomi hingga psikologi juga sangat penting, karena fenomena bunuh diri memiliki banyak faktor penyebab.